Sebelumnya aku ingin mengucapkan terima kasih atas cinta yang telah kau berikan. Namun, maaf jika rasamu tak mendapat balasan. Sebuah pernyataan cinta yang justru selalu kujawab, "Maaf ya, aku belum siap."
Aku tidak mengerti apakah kau datang dengan
ketulusan atau hanya sekadar penasaran.
Karena kebanyakan manis di awal, dan berakhir
menorehkan luka. Maaf, ya, kau harus bertemu
perempuan dengan ketakutan-ketakutan seperti
ini. Namun, memang luka lamaku belum sembuh
seutuhnya.
Barangkali kau memang tulus, sebab kau pernah
bilang, "Aku temani kamu dulu, kalau pada akhirnya
kamu tidak memilihku, ya tidak apa-apa."
Apa kau mau bersabar menunggu kunci beralih
ke tanganmu? Namun, bagaimana jika kunci itu
terus dikuasai penghuni lama? Bukankah akan menyakitkan untukmu?
Andaipun kau memiliki kunci cadangan dan
berhasil masuk. Apakah kau tidak akan terkejut
ketika melihat ruangan begitu berserakan? Apalagi
ada pecahan kaca yang mungkin bisa melukai
kakimu. Kau pasti tidak mau terluka, bukan?
Tunggu, ya. Aku rapikan dulu. Aku sungguh belum
siap menerima tamu.
Atau, bolehkah kusarankan agar kau mencari hati
lain saja? Pintu yang telah terbuka lebar menerima
kedatanganmu, bukan seperti aku yang dipenuhi
luka masa lalu. Pun, aku tidak cukup istimewa
untuk kau tunggu. Kau berhak berbahagia
Andai benar aku tidak memilihmu, apakah
menurutmu aku jahat?
Hatiku memang sudah tidak berpenghuni, tetapi
pintu masih terkunci rapat-rapat. Tampaknya kunci
masih dipegang oleh penghuni lama. Aku bahkan
tidak tahu ia simpan di mana.
Kau jangan memaksa mendobraknya, sebab
khawatir akan menggoreskan luka di hatiku. Pun
barangkali dengan tubuhmu. Kita tentu tidak ingin
sama-sama terluka, ya.
dengan perempuan yang lebih dari sekadar aku.
0 komentar:
Post a Comment