Suatu ketika. Sejak siang. Hingga malam pukul delapan. Salah satu grup WhatsApp ramai sekali. Grup itu isinya para intelektual. Para cendekiawan. Para mahasiswa pascasarjana, para dosen, termasuk juga aktivis.
Biasa. Saat berdiskusi. Masing-masing selalu menyertakan argumen. Mulai dari yang paling dangkal. Sampai argumen yang dalam. Mulai yang paling rasional, sampai argumen-argumen yang asal.
Temanya macam-macam. Mengalir saja. Sekitar filsafat, teologi, tasawuf, politik, lingkungan, dan berbagai macam pemikiran. Termasuk juga isme-isme modern. Namun, tidak jarang juga diskusinya mengalir ke hal-hal yang tidak penting.
Siang itu. Mereka membahas tentang surga. Entah mengapa tema itu muncul. Seperti biasa. Mereka mengajukan pendapat dengan berbagi argumen. Mulai dari ayat Alquran. Sampai kitab-kitab para ulama. Berbagai perspektif muncul. Termasuk berbagai pendekatannya.
Bagi saya, itu tidak menarik. Padahal. Saya menunggu ide-ide yang menarik. Saya menunggu apa yang baru dari mereka. Sejak siang saya menyimak. Baru sekitar pukul delapan malam. Ada satu komentar yang menurut saya menarik.
Dia menulis begini. "Di era modern masih bahas surga? Bukankah surga yang nyata adalah kebahagiaan di dunia?" Kurang lebih seperti ini. Saya tidak tahu persis apa maksud kalimat itu. Tapi. Bagi saya. Baru itu kalimat yang bermutu. Meski singkat. Namun padat.
Saya komentari kalimat itu. Yang pada intinya memberi apresiasi. Saya mengatakan bahwa, semua komentar bagus. Namun, baru itu kalimat yang sangat cadas. Sejak siang tadi, baru ini kalimat yang bermutu.
Saya tidak mengenal siapa dia. Tapi. Dari gaya bahasa yang digunakan. Dia adalah orang yang sudah sangat mengerti banyak persoalan. Mungkin dia melihat banyak ketidakadilan di dunia ini. Banyak masalah dalam berbagai hal. Sehingga ada rasa prihatin terhadap itu.
Saya rasa begitu. Karena sehari-hari. Saya berhadapan dengan banyak orang dengan berbagai masalah. Mulai dari masalah berat dan rumit. Sampai masalah yang remeh-temeh. Sehingga, saya anggap kalimat di atas berkisar di wilayah itu.
Baiklah. Kita sudah sejak kecil diajarkan konsep tentang surga. Juga neraka. Sudah lengkap. Tidak ada masalah. Lalu apa? Itulah pertanyaan yang perlu dijawab. Kita sudah mendapat gambaran yang sangat lengkap tentang surga. Juga bagaimana mendapatkannya. Lalu apa? Sekali lagi. Ini pertanyaan yang perlu dijawab.
Bagi saya. Pekerjaan beratnya adalah bagaimana menghadirkan surga itu di kehidupan ini. Sehingga manusia tidak perlu menunggu mati untuk mencapai surga. Soal surga setelah mati. Itu tanggung jawab masing-masing. Tapi untuk menghadirkan surga bagi manusia di dunia ini, itu tanggung jawab kita bersama.
Apakah kita akan membiarkan sebagian manusia kekurangan makanan? Atau kita akan membiarkan mereka hanya makan satu hari sekali. Dan itu juga tidak layak. Apakah kita akan membiarkan sebagian spesies kita menderita karena kemiskinan? Dan mereka hidup dalam kondisi yang serba terbatas?
Apakah kita akan membiarkan orang terus-menerus bertengkar karena kekurangan uang belanja. Atau karena hal lain. Apakah kita akan membiarkan surga yang imajinatif itu justru dijadikan alat untuk memeras keringat sebagian manusia? Dengan bujukan bahwa setiap lelah akan menjadi pahala?
Apakah kita akan membiarkan sebagian dari spesies kita terzalomi oleh sebagian yang lain? Bahasa halus dari tertindas. Tertindas karena korupsi di suatu negara merajalela. Apakah kita akan membiarkan sebagian manusia tersakiti karena sistem yang tidak memihak pada mereka?
Apakah kita akan membiarkan sebagian spesies kita saling membunuh demi makanan? Mengemis demi mengisi perut? Apakah kita akan membiarkan sebagian spesies kita memakan tanah yang dikeringkan. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Afrika? Dan itu terjadi karena adanya keserakahan sebagian manusia.
Apakah kita akan membiarkan sebagian manusia menderita busung lapar. Karena kurang gizi. Sementara sebagian yang lain hidup dengan kekayaan melimpah. Bahkan tidak akan habis sampai beberapa keturunan.
Para orang kaya bisa relatif tenang beribadah menyembah tuhannya. Demi mendapatkan surga yang diimajinasikan. Sementara yang lain. Masih harus berjibaku dengan banyak hal ketika azan berkumandang. Betapa tidak adilnya kehidupan semacam itu.
Para pemikir besar selalu berangkat dari keprihatinan semacam itu ketika mereka mulai menyusun pemikirannya. Berangkat dari berbagai masalah semacam itu, dengan tujuan membuat kondisi dunia ini lebih baik.
Jadi. Sangat kurang tepat jika kita mendalami pemikiran. Namun pemikiran itu hanya berhenti di kepala saja. Karena tidak akan ada dampak apa-apa. Karena itu. Menurut saya. Mempelajari filsafat maupun pemikiran. Maupun ilmu-ilmu apa saja. Harus ada tujuannya. Yaitu membuat kondisi kemanusiaan menjadi lebih baik.
Jadi, kembali soal surga. Kita sudah sepakat bahwa amal baik akan diberi pahala sebagai tiket masuk surga. Agar bisa menikmati segala nikmat yang ada di dalamnya. Namun. Alangkah egoisnya kita. Jika kita hanya memikirkan diri kita masing-masing untuk mencapai itu. Tanpa memikirkan yang lain.
Kita semua sudah sepakat dengan surga yang imajinatif itu. Bahwa jika melakukan kebaikan, kita akan diberi tiket untuk masuk ke surga setelah mati nanti. Namun. Pekerjaan besarnya adalah. Bagaimana menghadirkan itu di dunia ini. Agar semua orang bisa menikmati. Tanpa perlu mati.
Surga di dunia itu, bagaimana menjadikan planet ini planet yang damai. Semua yang hidup di permukaannya tercukupi kebutuhannya. Karena jika sebagian manusia tidak serakah, kelaparan tidak akan terjadi. Apa yang kita sebut dengan kemiskinan tidak terjadi. Karena setiap manusia telah dijamin oleh Tuhan setiap kebutuhannya.
Kita bisa bayangkan bagaimana surga bisa dinikmati semua orang di permukaan planet ini. Kehidupan yang damai, aman, tanpa permusuhan. Semua kebutuhan tercukupi. Tanpa harus bersusah-susah memeras keringat untuk orang lain. Tanpa harus memeras keringat demi upah yang tidak seberapa.
Semua isi planet ini, sebetulnya diciptakan untuk manusia. Bukan untuk dirusak. Tapi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mulai dari berbagai jenis makanan, maupun minuman. Begitu juga udara yang bisa dihirup secara gratis. Matahari yang memberi hangat pada tubuh. Dan seterusnya. Itu semau adalah nikmat. Kita semua harus bersyukur atas semua nikmat yang banyak itu.
Namun, sebagian manusia memilih untuk serakah. Mengambil lebih banyak dari kebutuhannya. Bahkan, mereka merusak alam. Dan setelah alam rusak, ditinggal begitu saja. Mereka juga mengambil hak orang lain. Menyebabkan sebagian manusia hidup kekurangan. Mereka menciptakan sistem yang merugikan sebagian manusia lain. Sistem yang menyebabkan orang lain menderita. Sistem yang tidak adil.
Mungkin. Salah satu cara agar manusia bisa menghadirkan surga di dunia adalah bahwa mereka semua harus sadar. Bahwa Tuhan telah memberi mereka banyak nikmat. Yang mana jika merek mencoba untuk menghitung semua nikmat itu, mereka tidak akan bisa menghitung seluruhnya. Dan itu semua cukup untuk menjadikan planet ini sebagai surga. Tentu jika mereka tidak serakah. Karena itu, selain bersyukur atas segala nikmat, sifat serakah juga harus dikesampingkan. Agar surga bisa menikmati, tanpa perlu mati. []
BKT, Dec 2022